GEJOLAK BURUH
Media massa
akhir-akhir ini memberitakan fenomena aksi dan gejolak perburuhan di sejumlah
daerah industri yang terus meningkat sejak Januari 2012.
Dinamika aksi dan
gejolak perburuhan tersebut dianggap oleh asosiasi pengusaha sebagai sesuatu
yang dapat memprovokasi investor untuk merelokasi investasi mereka ke luar
negeri. Sementara bagi kalangan buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak
aspirasi mereka untuk memperjuangkan penghapusan pekerja alih daya
(outsourcing) dan upah murah yang dianggap merugikan hak mereka akan kepastian
kerja dan hidup layak.
Fenomena gejolak
aksi-aksi perburuhan saat ini terjadi bersamaan dengan tren pertumbuhan ekonomi
secara nasional, yang beberapa tahun terakhir cukup tinggi (sekitar 6 persen)
di tengah situasi krisis ekonomi global. Gejolak perburuhan secara perlahan,
tetapi pasti turut meletup pada era Orde Baru, khususnya 1990-an, dengan
berbagai aksi pemogokan berskala kawasan hingga tingkat kota.
Pertumbuhan ekonomi
kita tak disertai pemerataan kesejahteraan. Ketidaksetaraan antar-lapisan
sosial cukup mencolok, seperti dikomentari peraih Nobel Ekonomi 2007, Erik
Maskin. Dalam kunjungannya ke Indonesia, Maskin menyoroti nasib buruh di kelas
terbawah yang mengalami tekanan persaingan pasar tenaga kerja yang sangat
kompetitif.
Sistem kerja kontrak
alih daya dan politik upah murah adalah karakteristik umum yang dikesankan jadi
prasyarat keunggulan dan pertumbuhan dalam relasi kita dengan globalisasi.
Padahal, bila kita kembali ke observasi Maskin—juga oleh Kaushik
Basu, guru besar ekonomi asal Cornell—justru ditemukan, globalisasi adalah
salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan rata-rata, tetapi
menimbulkan masalah distribusi pendapatan.
Solusi di tingkat lokal
Latar dari pertumbuhan
yang menghasilkan kesenjangan dan juga fondasi dari gejolak perburuhan dewasa
ini ada di tingkat lokal. Kompetisi di pasar tenaga kerja berlangsung dalam
konteks desentralisasi sebagai model kekuasaan yang diterapkan dalam hubungan
antara pemerintah pusat dan daerah pada masa pasca-otoriterisme.
Akibatnya,
keterlibatan negara didorong agar ”berkurang” dalam politik perburuhan, dengan
melimpahkan tanggung jawab untuk membereskan konflik yang selalu terjadi dalam
hubungan industrial kepada pemerintah lokal. Struktur kesempatan politik yang
tersedia saat ini memberikan ruang bagi mobilisasi lebih leluasa buruh untuk
berpolitik menggunakan metode bersifat direct action.
Aksi massa, gangguan
terhadap proses produksi di kawasan industri dan sekitarnya cenderung
memperkuat posisi politik mereka ketimbang harus bergantung pada partai dan
politisi yang cenderung dikuasai oligarki di tingkat lokal. Karakter industri
yang melayani mata rantai ekonomi global mengakibatkan ”rasa kepemilikan” para
oligarki juga relatif terbatas.
Gejolak perburuhan
semakin meluas juga akibat tidak lagi tersedia kesempatan legal menggunakan
represi dan keterlibatan aparat militer dalam penyelesaian masalah industrial,
seperti yang menjadi andalan rezim otoriter Orde Baru.
Kesenjangan
kesejahteraan yang bertemu tekanan hidup yang sangat kompetitif menjadi faktor
di tingkat tiap lokal daerah industri. Gerakan yang mengikuti alur
desentralisasi ini menjadi terhubung dan relatif terkoordinasi antardaerah
akibat tren upah yang relatif setara bila diperhitungkan dengan beban biaya
hidup antarkota yang turut memengaruhi besar upah riil pekerja. Antardaerah
dalam kerangka kompetisi telah bersaing untuk menekan upah buruhnya, tetapi
hasilnya justru kondisi yang relatif setara karena biaya hidup juga tinggi di
daerah-daerah yang lebih tinggi upah rata-ratanya. Biaya hidup yang lebih
tinggi adalah buah pertumbuhan ekonomi yang cukup besar ditopang konsumsi
domestik. Ekspektasi hidup layak mendorong motivasi lebih besar buruh menuntut
perbaikan kesejahteraan.
Arena utama politik
hubungan industrial secara faktual beralih ke tingkat lokal. Di sanalah terjadinya
gejolak-gejolak perburuhan yang berakar dari tingkat perusahaan hingga
terbangunnya berbagai jaringan dan aliansi serikat buruh yang selama ini
menginisiasi aksi-aksi secara teritorial. Sementara di sisi pengusaha,
kepentingan yang diutamakan adalah pencarian profit dari kompetisi yang
mengandalkan keunggulan komparatif: buruh murah dan fleksibilitas tenaga kerja.
Negara ”terpecah” posisinya akibat latar desentralisasi yang di satu sisi
mengalihkan urusan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak regulasi dan
mekanisme perburuhan yang bersifat nasional. Situasi unik terjadi ketika
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang dapat diinterpretasikan sebagai
penolakan kepada sistem kerja kontrak dan alih daya.
Minimnya ruang
demokratis untuk penyelesaian perselisihan di tingkat lokal menjadi masalah,
tetapi juga seharusnya menjadi titik tolak solusi yang efektif.
Perubahan latar
politik perburuhan harusnya memberikan lebih besar lagi insentif bagi
pemerintah daerah dan pelaku-pelaku politik lainnya untuk mendorong
demokratisasi yang lebih lagi dalam menangani hubungan industrial. Tidak bisa
lagi hanya bergantung pada mekanisme rutin tripartit, seperti penetapan upah
tahunan saja.
Pemimpin asosiasi
pengusaha di tingkat pusat juga harus mengubah strategi keterlibatan yang lebih
proaktif dalam memajukan musyawarah, mulai tingkatan perusahaan paling bawah
hingga secara teritorial.
Tidak bertemunya praktik deliberasi (musyawarah) yang
komprehensif dari unsur-unsur dalam politik hubungan industrial di tingkat
lokal mengakibatkan pilihan metode perjuangan tuntutan dalam bentuk aksi
langsung: demo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar