Fenomena Beragama di Indonesia
Tidak bisa
dipungkiri bahwa negeri kita yang luas ini terdiri dari orang yang beraneka
ragam, agama, budaya, suku, bahasa, profesi/status sosial dalam masyarakat.
Kesemuanya itu berkumpul menjadi satu baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Kemajemukan masyarakat merupakan fenomena yang memang ada dalam masyarakat
Indonesia. Kemajemukan itu diikrarkan dalam satu tekad, yaitu Bhineka Tunggal
Ika atau berbagai-bagai namun satu (Unity in diversity = Kesatuan dalam
kepelbagaian) yang menjadi semboyan pemersatu. Ini menandakan bahwa masyarakat
Indonesia sudah lama berpengalaman hidup sebagai masyarakat majemuk, sehingga
semestinya tidak menjadi persoalan. Namun kenyataannya, hubungan antar kelompok
yang berbeda, terutama umat yang berbeda agama tetap atau semakin menjadi
persoalan. Bahkan bisa berpotensi menjadi masalah SARA, artinya masalah yang
peka dan rawan. Walaupun diluar nampak tenang, namun kita bisa merasakan adanya
ketegangan yang tersembunyi dan bergolak dibawah permukaan. Walaupun kita
dikenal dan mengaku sebagai masyarakat majemuk, namun masih ada pihak atau
kelompok tertentu yang tidak mudah menerima perbedaan baik sebagai sesama anak bangsa maupun
sebagai sesama umat beragama. Ini masih nampak pada salah satu sikap dan
tindakan pihak atau kelompok tertentu yang cendrung fanatik ekstrem, provokatif, anarkis, bahkan tanpa
merasa berdosa dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) merusak sarana ibadah umat
beragama lain. Sehingga banyak orang
mengeluh, bingung, jenuh dan tidak tahu bagaimana harus hidup di negara
sendiri. Ada orang yang berkata :
Negara ini sudah mirip/menjadi rumah
gila. Karena negeri yang masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat majemuk,
ramah, santun, dan toleran, namun dalam realitanya ternyata masih ada kelompok
atau pihak yang merasa tidak nyaman dan terkejut ketika berada ditengah
masyarakat majemuk, atau bertetangga dengan sesama yang berbeda
agama/keyakinan. Agaknya negara bisa menjadi inventaris pihak/kelompok
tertentu dengan paradigma dan etika
serba boleh. Oleh sebab itu, kita agaknya sedang mengalami apa yang
disebut Alvin Toffler sebagai “kejutan
masa depan” atau future shock tetapi juga” kejutan kemajemukan” atau plural
shock. Apakah memang demikian keadaan
kita ?
Dalam kehidupan
sosial, agama memang tidak hanya menjadi legitimasi etik bagi pemeluknya,
tetapi juga memiliki peran penting dalam ranah kehidupan sosial masyarakat,
ekonomi, demikian pula dalam ranah politik. Dengan kata lain, peran agama dalam
masyarakat kita cukup menguat, dan tercermin baik pada
struktur masyarakat maupun dalam struktur politik bernegara. Fenomena tersebut
membenarkan prediksi Jhon Naisbit tentang “kebangkitan agama-agama” pada abad
21 yang ditandai dengan makin meningkatnya hasrat masyarakat menjadikan agama
sebagai sumber utama rujukan dalam setiap ranah kehidupan. Namun di sisi lain,
kebangkitan agama menjadi pergumulan atau kekwatiran tersendiri. Pasalnya,
kebangkitan agama yang terjadi, agaknya baru sebatas kebangkitan dalam arti
formal, yaitu peningkatan secara
kuantitatif penganut agama di
tengah masyarakat. Kebangkitan agama belum sepenuhnya disertai dengan komiitmen
untuk menjalankan ajaran agama secara substantif. Kebanyakan orang masih
mengamalkan simbol-simbol ritual agama yang tidak disertai kesadaran spiritual.
Model pengenalan agama yang menekankan simbol-simbol ritual ini berpotensi
menampilkan wajah kehidupan beragama yang kurang angun atau bersahabat dan tidak jarang terkesan menyeramkan karena
semangat penuh fanatik dari masing-masing pengikut agama terkadang memicu
pecahnya konplik antar umat beragama.
Disinilah kebangkitan agama memiliki dua sisi yang harus diperhatikan sekaligus
diwaspadai. Karena agama berpotensi menjadi altruism masyarakat atas
nilai-nilai, sekaligus berpotensi pula menjadi komuditas sentimental terhadap
realitas yang penuh keragaman budaya etnis dan agama. Agama yang seharusnya
menjadi inspirasi bagi manusia untuk membangun hidup berkeadaban belum
menyentuh problem real kemasyarakatan. Para agamawan masih cenderung lebih
memilih tema surga dan keselamatan di akhirat ketimbang membicarakan atau
melakukan dialog dan forum kajian ilmiah tentang sikap apa yang seharusnya
dimiliki seseorang yang beragama dalam membangun peradaban manusia seutuhnya.
Lebih parah lagi masih banyak dari
kalangan agamawan menjadikan agama hanya sebagai instrument pembangunan kekuatan politik untuk
kepentingan pribadi. Doktrin agama diartikan/diiterpretasikan untuk
melegitimasikan kepentingan pribadi semata dan menghancurkan bangunan stabilitas
sosial, dan masyarakat hanyut dalam hegemoni
kepentingan para tokoh agamanya yang terkadang tidak jujur. Bahkan tidak
jarang kelompok agama tertentu dalam masyarakat menyakiti kelompok yang lainnya
dengan mengatasnamakan “kebenaran”,
“mission” serta istilah lain yang kerap diperdengarkan dan menjadi
materi kajian yang sering diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat oleh
tokoh agama melalui ceramah-ceramahnya.
Kehadiran
Agama-agama di Indonesia
Sejak terbentuknya Negara Republik
Indonesia, para pendiri (founding father) Negara kita telah menempatkan agama
sebagai peran penting dalam menentukan arah kehidupan bangsa. Dalam pembangunan
bangsa, agama berperan penting sebagai motivator dan meletakan lansasan etis,
moral dan spiritual didalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks
berbagsa, bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, yang dinamakan agama itu
adalah; agama Islam, agama Katolik Roma, agama Kristen Protestan, agama Hindu,
agama Budha, dan agama Konghucu baru sejak zaman pemerintahan Presiden
Abdulrahman Wahid atau Gusdur. Jadi yang dinamakan agama disini hanya terbatas
pada lima agama tersebut, yang pengaturannya secara politis oleh Departemen
Agama. Sedangkan yang biasa kita kenal sebagai agama-agama suku tidak termasuk
dalam kategori ini. Pembinaan terhadap agama-agama suku dilakukan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan dianggap bukan sebagai agama melainkan
sebagai budaya spiritual bangsa. Atas dasar pengertian ini, maka orang
mengatakan bahwa sejak zaman dulu sejak
zaman nenek moyang kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.
Tampaknya, kriteria yangmengukur pengertian agama berkisar pada lima hal:
1.Mengandung kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.2.Bersifat universal dalam
arti pengajaran dan pengaruhnya berlaku dan meliputi seluruh dunia 3. Diwahyukan
4. Mempunyai tokoh nabi dalam ajarannya. 5. Mempunyai kitab suci. Dengan
criteria demikian, maka agama-agama suku tidak dapat digolongkan sebagai agama.
Agama dalam pengertian yang disebut di
atas, maka jelaslah bahwa peranan agama sangat integeral dalam kehidupan
berbangsa dan telah tertuang dalam Pancasila yang didalamnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila
pertama. Dalam rangka pengertian sila pertama dalam Pancasila, maka kesemua
merupakan pencerminan dari adanya kepelbagaian agama yang dianut oleh
masyarakat Indonesia yang meliputi satu wilayah tanah air Indonesia. Dalam
naungan Sila Pertama dari Pancasila, maka kedudukan kesemua agama itu tanpa
memandang mayoritas dan minoritas
melainkan sama dan sederajat di hadapan hukum. Hal ini dapat pula berarti tidak bermaksud menerima pandangan bahwa atas
dasar Pancasila semua agama menjadi sama, karena pada hakikatnya mereka
menyembah Tuhan yang sama. Pandangan
yang demikian adalah keliru dan harus dihindari atau ditolak. Karrena bermuara
kepada terjadinya reativisme atau kompromi aqidah dan sinkretisme. Namun yang
dimaksudkan adalah bahwa agama kita berbeda namun kita sama dalam hal mengakui
adanya Tuhan Yang Maha Esa menurut kepercayaan dan pengertian masing-masing agama. Pandangan inipun sesuai
dengan motto Bhineka Tunggal Ika yakni ketunggalan/kesatuan yang berakar pada
kepelbagaian. Pandangan ini hendak mengatakan bahwa didalam sikap hidup yang
mengakui perbedaan itulah kebersamaan dapat beroperasi secara baik. Inipun
menunjuk kepada arti atau makna hidup itu sendiri, yakni hidup bermakna dalam
kepelbagaian dan keterhubungan (related to) dengan sesame umat beragama. Dengan
demikian, dalam naungan Pancasila agama menjadi
berkarakter menghadirkan kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Tuhan
Yang Maha Esa didalam dan bagi setiap hubungan antar keyakinan. Dengan demikian
pula, agama bisa menjadi inspirasi untuk hidup mewujudkan syalom di tengah
dunia yang pluralistis dan berubah.
Peran
para Agamawan.
Di tengah fenomena
beragama dalam masyarakat plulalistis, para agamawan adalah ujung tombak dalam
pembinaan umat masing-masing. Mereka bukan saja pemimpin, melainkan juga
Pembina, pendidik dan penyampai pokok-poko ajaran dan keyakinan agama mereka
pada umat masing-masing. Dalam masyarakat Indonesia yang paternalistic para
pemimpin agama, seperti Pastor, Pendeta, Ulama, Guru Agama, Da'i/Mubaligh dan
Bikhu adalah tokoh panutan. Apa yang diperbuat, disampaikan, dan diajarkan oleh
agamawan pada umat sangat mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan umat.
Kenyataan secara umum memperlihatkan, masih banyak khotbah attau ceramah yang
disampaikan oleh para agamawan masih mengandung misperception dan
misunderstanding terhadap agama atau keyakinan lain. Bahkan terkadang masih
muncul khotbah aatau ceramah yang bernada hasutan, fitnahan dan provokatif
terhadap agama lain. Hal ini memperlihatkan bahwa kesadaran tentang realitas
pluralitas masyarakat dan agama dan pentingnya toleransi belum memadai.
Rendahnya kesadaran terhadap realitas pluralitas masyarakat berpotensi bukan
saja mengganggu kehidupan bersama dalam masyarakat, melainkan juga berpotensi
bagi kekerasan terhadap kemanusiaan. Dengan kata lain, kekerasan terhadap orang
lain justru bermula dari kekerasan di
dalam pikiran yang pada saatnya akan terwujud dalam bentuk kekerasan
fisik, atau perlakuan diskriminatif terhadap sesama manusia, sesama anak
bangsa, sesama umat beragama. Pengalaman dan peristiwa konplik bernuansa SARA
yang pernah terjadi seperti Ambon, Poso, Sampit, dan sebagainya memperlihakan
peran yang signifikan dari para agamawan/tokoh agama dalam mengobarkan semangat
kebencian atau permusuhan terhadap kelompok lain.
Agama dan Hak Asasi
Manusia
Dalam konferensi
Agama dan Perdamaian yang berlangsung di Kathmandu, Nepal 28 Oktober 2 Nopember 1991, dikatakan bahhwa peranan
agama dalam kehidupan manusia adalah sangat menentukan. Alasannya, karena agama
adalah mata air kehidupan tempat manusia menemukan makna kehidupan yang
terdalam. Ini menandakan bahwa beragama adalah salah satu hak asasi manusia,
karena didalamnya manusia menemukan pandangan hidup dan inspirasi yang dapat
menjadi landasan yang kokoh untuk pembentukan nilai, harkat dan martabat
manusia. Begitu pentingnya peranan agama, maka dalam mengisi era globalisasi
atau abad 21 yang maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia akan
mendambakan peranan agama sebagai petunjuk rohani untuk mengatasi keterasingan
dan kegersangan batiniah. Dengan demikian, agama menjadi sebuah komitmen
terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian bagi manusia di
masa kini maupun di masa mendatang. Dengan demikian pula, peranan agama
bukanlah terutama sekedar untuk melestarikan nilai-nilai tradisional, tetapi
berperan lebih sebagai suatu kekuatan yang transformatif. Artinya agama berada
bukan untuk memuja masa lampau, tetapi menjadi inspirasi dan mampu menciptakan
masa depan. Inilah peranan agama-agama dalam kehidupan manusia pada masa kini
maupun dimasa mendatang, sehingga dalam menghadapi dunia modern ini dimana
terjadi kebangkitan agama-agama, hak
asasi manusia perlu dijamin; karena pada dasarnya di masa dan di abad manapun
manusia itu adalah manusia yang beragama.
Kesadaran dan pengakuan bahwa beragama adalah hak asasi manusia,
hendaknya berlanjut pula kepada kesadaran terhadap realitas pluralitas
masyarakat; kesadaran membangun kehidupan bersama yang saling menghormati dan
saling menghargai berbagai perbedaan
agama, kepercayaan, bahkan keyakinan; serta melahirkan komitmen terhadap
kehidupan bersama yang mengupayakan dan memperjuangkan perdamaian dan keadilan
bagi masyarakan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kecendrungan
mempertuhankan agama, pemutlakkan agama
sendiri/tertentu dan melihat orang lain salah, dosa dan sesat dapat dihindari.
Karena akibat dari sikap pemutlakkan agama menjadi tragis. Ada keluarga yang
pecah karena agama. Ada Negara yang pecah karena agama. Orang saling membenci
bahkan saling membunuh karena agama. Tragis dan ironis, karena semua agama
mengajarkan welas asih dan kasih saying. Tetapi jika penganut-penganutnya
memutlakkan agama sendiri sebagai tujuan, maka agama berwajah seram. Dan agama
berpotensi mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-menyekat, memisah-misahkan
manusia. Saling menajiskan satu dengan yang lain. Penuh prasangka. Tidak bisa
saling menerima sebagaimana adanya.
Padahal Tuhan tidak demikian. Tuhan menerima manusia yang bertobat
seperti apa adanya. Ada hal penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35
dimana Petrus berkata: “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak
membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang
mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya”. Demikian kata Alkitab, Kiranya
menjadi inspirasi bagi kita untuk lebih mengenal dan memahami konteks kita
sebagai pengikut Kristus serta bergumul dan berjuang menjadi gereja bagi sesama.