Senin, 08 Juli 2013


Fenomena Beragama di Indonesia

Tidak bisa dipungkiri bahwa negeri kita yang luas ini terdiri dari orang yang beraneka ragam, agama, budaya, suku, bahasa, profesi/status sosial dalam masyarakat. Kesemuanya itu berkumpul menjadi satu baik di pedesaan maupun di perkotaan. Kemajemukan masyarakat merupakan fenomena yang memang ada dalam masyarakat Indonesia. Kemajemukan itu diikrarkan dalam satu tekad, yaitu Bhineka Tunggal Ika atau berbagai-bagai namun satu (Unity in diversity = Kesatuan dalam kepelbagaian) yang menjadi semboyan pemersatu. Ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia sudah lama berpengalaman hidup sebagai masyarakat majemuk, sehingga semestinya tidak menjadi persoalan. Namun kenyataannya, hubungan antar kelompok yang berbeda, terutama umat yang berbeda agama tetap atau semakin menjadi persoalan. Bahkan bisa berpotensi menjadi masalah SARA, artinya masalah yang peka dan rawan. Walaupun diluar nampak tenang, namun kita bisa merasakan adanya ketegangan yang tersembunyi dan bergolak dibawah permukaan. Walaupun kita dikenal dan mengaku sebagai masyarakat majemuk, namun masih ada pihak atau kelompok tertentu yang tidak mudah menerima perbedaan  baik sebagai sesama anak bangsa maupun sebagai sesama umat beragama. Ini masih nampak pada salah satu sikap dan tindakan pihak atau kelompok tertentu yang cendrung fanatik  ekstrem, provokatif, anarkis, bahkan tanpa merasa berdosa dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) merusak sarana ibadah umat beragama lain. Sehingga banyak  orang mengeluh, bingung, jenuh dan tidak tahu bagaimana harus hidup di negara sendiri.  Ada orang yang berkata : Negara  ini sudah mirip/menjadi rumah gila. Karena negeri yang masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat majemuk, ramah, santun, dan toleran, namun dalam realitanya ternyata masih ada kelompok atau pihak yang merasa tidak nyaman dan terkejut ketika berada ditengah masyarakat majemuk, atau bertetangga dengan sesama yang berbeda agama/keyakinan. Agaknya negara bisa menjadi inventaris pihak/kelompok tertentu  dengan paradigma dan etika serba boleh.  Oleh sebab itu,  kita agaknya sedang mengalami apa yang disebut  Alvin Toffler sebagai “kejutan masa depan” atau future shock tetapi juga” kejutan kemajemukan” atau plural shock.  Apakah memang demikian keadaan kita ?
Dalam kehidupan sosial, agama memang tidak hanya menjadi legitimasi etik bagi pemeluknya, tetapi juga memiliki peran penting dalam ranah kehidupan sosial masyarakat, ekonomi, demikian pula dalam ranah politik. Dengan kata lain, peran agama dalam masyarakat  kita  cukup menguat, dan tercermin baik pada struktur masyarakat maupun dalam struktur politik bernegara. Fenomena tersebut membenarkan prediksi Jhon Naisbit tentang “kebangkitan agama-agama” pada abad 21 yang ditandai dengan makin meningkatnya hasrat masyarakat menjadikan agama sebagai sumber utama rujukan dalam setiap ranah kehidupan. Namun di sisi lain, kebangkitan agama menjadi pergumulan atau kekwatiran tersendiri. Pasalnya, kebangkitan agama yang terjadi, agaknya baru sebatas kebangkitan dalam arti formal, yaitu peningkatan secara  kuantitatif  penganut agama di tengah masyarakat. Kebangkitan agama belum sepenuhnya disertai dengan komiitmen untuk menjalankan ajaran agama secara substantif. Kebanyakan orang masih mengamalkan simbol-simbol ritual agama yang tidak disertai kesadaran spiritual. Model pengenalan agama yang menekankan simbol-simbol ritual ini berpotensi menampilkan wajah kehidupan beragama yang kurang angun atau bersahabat  dan tidak jarang terkesan menyeramkan karena semangat penuh fanatik dari masing-masing pengikut agama terkadang memicu pecahnya konplik antar umat  beragama. Disinilah kebangkitan agama memiliki dua sisi yang harus diperhatikan sekaligus diwaspadai. Karena agama berpotensi menjadi altruism masyarakat atas nilai-nilai, sekaligus berpotensi pula menjadi komuditas sentimental terhadap realitas yang penuh keragaman budaya etnis dan agama. Agama yang seharusnya menjadi inspirasi bagi manusia untuk membangun hidup berkeadaban belum menyentuh problem real kemasyarakatan. Para agamawan masih cenderung lebih memilih tema surga dan keselamatan di akhirat ketimbang membicarakan atau melakukan dialog dan forum kajian ilmiah tentang sikap apa yang seharusnya dimiliki seseorang yang beragama dalam membangun peradaban manusia seutuhnya. Lebih parah lagi masih banyak  dari kalangan agamawan menjadikan agama hanya sebagai  instrument pembangunan kekuatan politik untuk kepentingan pribadi. Doktrin agama diartikan/diiterpretasikan untuk melegitimasikan kepentingan pribadi semata dan menghancurkan bangunan stabilitas sosial, dan masyarakat hanyut dalam hegemoni  kepentingan para tokoh agamanya yang terkadang tidak jujur. Bahkan tidak jarang kelompok agama tertentu dalam masyarakat menyakiti kelompok yang lainnya dengan mengatasnamakan “kebenaran”,  “mission” serta istilah lain yang kerap diperdengarkan dan menjadi materi kajian yang sering diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat oleh tokoh agama melalui ceramah-ceramahnya.
Kehadiran Agama-agama di Indonesia
      Sejak terbentuknya Negara Republik Indonesia, para pendiri (founding father) Negara kita telah menempatkan agama sebagai peran penting dalam menentukan arah kehidupan bangsa. Dalam pembangunan bangsa, agama berperan penting sebagai motivator dan meletakan lansasan etis, moral dan spiritual didalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks berbagsa, bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, yang dinamakan agama itu adalah; agama Islam, agama Katolik Roma, agama Kristen Protestan, agama Hindu, agama Budha, dan agama Konghucu baru sejak zaman pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid atau Gusdur. Jadi yang dinamakan agama disini hanya terbatas pada lima agama tersebut, yang pengaturannya secara politis oleh Departemen Agama. Sedangkan yang biasa kita kenal sebagai agama-agama suku tidak termasuk dalam kategori ini. Pembinaan terhadap agama-agama suku dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan dianggap bukan sebagai agama melainkan sebagai budaya spiritual bangsa. Atas dasar pengertian ini, maka orang mengatakan bahwa sejak zaman dulu  sejak zaman nenek moyang kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Tampaknya, kriteria yangmengukur pengertian agama berkisar pada lima hal: 1.Mengandung kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.2.Bersifat universal dalam arti pengajaran dan pengaruhnya berlaku dan meliputi seluruh dunia 3. Diwahyukan 4. Mempunyai tokoh nabi dalam ajarannya. 5. Mempunyai kitab suci. Dengan criteria demikian, maka agama-agama suku tidak dapat digolongkan sebagai agama.
      Agama dalam pengertian yang disebut di atas, maka jelaslah bahwa peranan agama sangat integeral dalam kehidupan berbangsa dan telah tertuang dalam Pancasila yang didalamnya  sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pertama. Dalam rangka pengertian sila pertama dalam Pancasila, maka kesemua merupakan pencerminan dari adanya kepelbagaian agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang meliputi satu wilayah tanah air Indonesia. Dalam naungan Sila Pertama dari Pancasila, maka kedudukan kesemua agama itu tanpa memandang  mayoritas dan minoritas melainkan sama dan sederajat di hadapan hukum. Hal ini dapat pula berarti  tidak bermaksud menerima pandangan bahwa atas dasar Pancasila semua agama menjadi sama, karena pada hakikatnya mereka menyembah Tuhan yang sama.  Pandangan yang demikian adalah keliru dan harus dihindari atau ditolak. Karrena bermuara kepada terjadinya reativisme atau kompromi aqidah dan sinkretisme. Namun yang dimaksudkan adalah bahwa agama kita berbeda namun kita sama dalam hal mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa menurut kepercayaan dan pengertian  masing-masing agama. Pandangan inipun sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika yakni ketunggalan/kesatuan yang berakar pada kepelbagaian. Pandangan ini hendak mengatakan bahwa didalam sikap hidup yang mengakui perbedaan itulah kebersamaan dapat beroperasi secara baik. Inipun menunjuk kepada arti atau makna hidup itu sendiri, yakni hidup bermakna dalam kepelbagaian dan keterhubungan (related to) dengan sesame umat beragama. Dengan demikian, dalam naungan Pancasila agama menjadi  berkarakter menghadirkan kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Tuhan Yang Maha Esa didalam dan bagi setiap hubungan antar keyakinan. Dengan demikian pula, agama bisa menjadi inspirasi untuk hidup mewujudkan syalom di tengah dunia yang pluralistis  dan berubah.
 Peran  para Agamawan.
Di tengah fenomena beragama dalam masyarakat plulalistis, para agamawan adalah ujung tombak dalam pembinaan umat masing-masing. Mereka bukan saja pemimpin, melainkan juga Pembina, pendidik dan penyampai pokok-poko ajaran dan keyakinan agama mereka pada umat masing-masing. Dalam masyarakat Indonesia yang paternalistic para pemimpin agama, seperti Pastor, Pendeta, Ulama, Guru Agama, Da'i/Mubaligh dan Bikhu adalah tokoh panutan. Apa yang diperbuat, disampaikan, dan diajarkan oleh agamawan pada umat sangat mempengaruhi sikap dan prilaku keberagamaan umat. Kenyataan secara umum memperlihatkan, masih banyak khotbah attau ceramah yang disampaikan oleh para agamawan masih mengandung misperception dan misunderstanding terhadap agama atau keyakinan lain. Bahkan terkadang masih muncul khotbah aatau ceramah yang bernada hasutan, fitnahan dan provokatif terhadap agama lain. Hal ini memperlihatkan bahwa kesadaran tentang realitas pluralitas masyarakat dan agama dan pentingnya toleransi belum memadai. Rendahnya kesadaran terhadap realitas pluralitas masyarakat berpotensi bukan saja mengganggu kehidupan bersama dalam masyarakat, melainkan juga berpotensi bagi kekerasan terhadap kemanusiaan. Dengan kata lain, kekerasan terhadap orang lain justru bermula dari kekerasan di  dalam pikiran yang pada saatnya akan terwujud dalam bentuk kekerasan fisik, atau perlakuan diskriminatif terhadap sesama manusia, sesama anak bangsa, sesama umat beragama. Pengalaman dan peristiwa konplik bernuansa SARA yang pernah terjadi seperti Ambon, Poso, Sampit, dan sebagainya memperlihakan peran yang signifikan dari para agamawan/tokoh agama dalam mengobarkan semangat kebencian atau permusuhan terhadap kelompok lain.
Agama dan Hak Asasi Manusia
Dalam konferensi Agama dan Perdamaian yang berlangsung di Kathmandu, Nepal 28 Oktober  2 Nopember 1991, dikatakan bahhwa peranan agama dalam kehidupan manusia adalah sangat menentukan. Alasannya, karena agama adalah mata air kehidupan tempat manusia menemukan makna kehidupan yang terdalam. Ini menandakan bahwa beragama adalah salah satu hak asasi manusia, karena didalamnya manusia menemukan pandangan hidup dan inspirasi yang dapat menjadi landasan yang kokoh untuk pembentukan nilai, harkat dan martabat manusia. Begitu pentingnya peranan agama, maka dalam mengisi era globalisasi atau abad 21 yang maju dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia akan mendambakan peranan agama sebagai petunjuk rohani untuk mengatasi keterasingan dan kegersangan batiniah. Dengan demikian, agama menjadi sebuah komitmen terdalam bagi manusia untuk mencapai harmoni dan perdamaian bagi manusia di masa kini maupun di masa mendatang. Dengan demikian pula, peranan agama bukanlah terutama sekedar untuk melestarikan nilai-nilai tradisional, tetapi berperan lebih sebagai suatu kekuatan yang transformatif. Artinya agama berada bukan untuk memuja masa lampau, tetapi menjadi inspirasi dan mampu menciptakan masa depan. Inilah peranan agama-agama dalam kehidupan manusia pada masa kini maupun dimasa mendatang, sehingga dalam menghadapi dunia modern ini dimana terjadi  kebangkitan agama-agama, hak asasi manusia perlu dijamin; karena pada dasarnya di masa dan di abad manapun manusia itu adalah manusia yang beragama.  Kesadaran dan pengakuan bahwa beragama adalah hak asasi manusia, hendaknya berlanjut pula kepada kesadaran terhadap realitas pluralitas masyarakat; kesadaran membangun kehidupan bersama yang saling menghormati dan saling menghargai berbagai  perbedaan agama, kepercayaan, bahkan keyakinan; serta melahirkan komitmen terhadap kehidupan bersama yang mengupayakan dan memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi masyarakan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kecendrungan mempertuhankan agama,  pemutlakkan agama sendiri/tertentu dan melihat orang lain salah, dosa dan sesat dapat dihindari. Karena akibat dari sikap pemutlakkan agama menjadi tragis. Ada keluarga yang pecah karena agama. Ada Negara yang pecah karena agama. Orang saling membenci bahkan saling membunuh karena agama. Tragis dan ironis, karena semua agama mengajarkan welas asih dan kasih saying. Tetapi jika penganut-penganutnya memutlakkan agama sendiri sebagai tujuan, maka agama berwajah seram. Dan agama berpotensi mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-menyekat, memisah-misahkan manusia. Saling menajiskan satu dengan yang lain. Penuh prasangka. Tidak bisa saling menerima sebagaimana adanya.  Padahal Tuhan tidak demikian. Tuhan menerima manusia yang bertobat seperti apa adanya.  Ada hal  penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35 dimana Petrus berkata: “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya”. Demikian kata Alkitab, Kiranya menjadi inspirasi bagi kita untuk lebih mengenal dan memahami konteks kita sebagai pengikut Kristus serta bergumul dan berjuang menjadi  gereja bagi sesama.


BEROLAH-RAGA


BEROLAH-RAGA
            Akhir-akhir ini saya lagi senang berolah raga, sebab dengan beolah raga anda akan mendapatkan kehidupan yang sehat, mau itu kesehatan jasmani atau rohani. Sebenarnya sih ini seharusnya jangan di jadikan hobi, seharusnya dijadikan sesuatu hal yang wajib bagi semua hidup manusia dari segala kalang selagi kalian masih sanggup untuk menggerakan anggota tubuh kalian.
            Saya baru sadar akhir-akhir ini, walau pun saying suka berolah raga tapi bukan jdi sesuatu yang wajib, hanya sekedar hoby itu pun cma maen futsal or lari-lari kecil, tapi sekarang berbeda saya ingin menjadikan olah raga dalam hidup saya menjadi sesuatu hal yang wajib untuk saya kerjakan.
            Selagi saya masih mampu untuk menggerakan anggota tubuh saya, saya akan memanfaatkannya untuk kebaikan entah untuk diri sendiri maupun untuk banyak orang, semangat kawan-kawan sekalian dari segala kalangan mau cewe or cowo, ibu-ibu/nenek-nenk, bapa_bapa/kakek, ayolah kita sehatkan badan selagi kita masih bias bergerak, agar hidup kita berguna bagi diri sendiri maupun orang banyak..